![](https://static.wixstatic.com/media/a27d24_73bf29843255451ea015f2d0c73250c6~mv2.jpg/v1/fill/w_980,h_1742,al_c,q_85,usm_0.66_1.00_0.01,enc_auto/a27d24_73bf29843255451ea015f2d0c73250c6~mv2.jpg)
Terombang-ambing tak menentu.
Melihat surya terbit dan tenggelam begitu saja.
Sang bayu mengelus malas di tengah termal musim panas.
Dan rindu masih saja dirumahkan.
Entah kapan kita kan berlabuh.
Peluk tersendat.
Tangan tak menggapai.
Asa terkatung-katung.
Ini bukan kenyamanan termal yang kami butuhkan.
Dari jendela kami menyapa.
Burung-burung tertawa sinis melihat tingkah kami.
“Mengapa mereka disangkarkan?” mungkin ini terjemahan kicau merdu mereka.
Cemburu aku dibuatnya.
Dikejauhan tampak bukit-bukit hijau berhias kumpulan warna pastel.
Hamparan bunga peony melambai lembut, elegan dan begitu positif diantara temaram alang-alang dan beberapa pohon maple yang sudah menghijau lebat.
Semak-semak berry liar memamerkan buahnya yang telah menghitam ranum diantara durinya.
Ah, lihatlah! bahkan diantara reruncingan tajam pun masih ada sesuatu yang manis.
Buckwheat pun tak kalah menyaingi syahdunya musim ini yang makin tampak bak lukisan.
Langit cerah terbentang bebas walau tak sebebas raga kami.
Awan kemawan menggantung rendah bak bunga kol yang menggoda penuainya.
Sanubari meronta, menghujat penuh cemburu.
Mata menatap nanar pada Semesta seraya bertanya, “Kapankah kita kan berlabuh?”
Banyak mimpi tertunda.
Mimpi-mimpi yang tak cukup jika hanya didaringkan.
Maaf atas kelancangan mimpi kami di tengah luka yang belum kunjung pulih ini, Semesta.
Namun kami butuh pelukan. Kami butuh oksitosin.
Tetes molekul moral yang tak cukup jika hanya lewat dimensi maya.
Auburn, AL, USA
Akhir Juni, 2020
Comments