![](https://static.wixstatic.com/media/459937_ba23063962a04e3d869897ef5b4805fb~mv2.jpeg/v1/fill/w_200,h_112,al_c,q_80,enc_auto/459937_ba23063962a04e3d869897ef5b4805fb~mv2.jpeg)
Sshhtt…! Diam! Setidaknya Pelankan suaramu! Berhentilah sejenak! Apa kau mendengarnya?
Bukan. Bukan orasi-orasi itu yang ku maksud. Dengar! Jeritan itu yang ku maksud. Ada tangisan lagi dari ufuk Timur. Tidakkah itu menyayat hatimu?
Mereka berduka lagi. Hari demi hari mereka mendekap bukan hanya satu tubuh untuk ditangisi. Senyum manis yang selalu diukir entah melalang buana kemana.
Ingatkah kau betapa para Penyair mengagumi hutan dan sungai yang menawan? Negeri Matahari bernyanyi. Panggung Cendrawasih menari. Surga kecil yang jatuh ke bumi. Begitu tutur mereka. Namun tangis itu malah pecah di sana! Membungkam nyanyian sang surya, menyela tarian si unggas kuning. Meretak dinding hati tiap insan.
Apa ada tangis dan duka di Surga??
Ini sungguh tragedi. Tragedi luka yang hadir di antara kelamnya hidup. Tragedi erosi yang mengikis habis tubuh kekar bangsa keriting, meninggalkan sosok gersang nan layu tak berdaya.
Siapa yang salah? Apa yang salah? Apa harus menggugat Tuhan? Ataukah tuan-puan yang perlu digugat?
Ah, sudahlah. Percuma duduk berkerut dahi. Jangan diam tertelan sendu. Jangan biarkan kelabu bersenandung. Asa yang tersisa jangan biarkan padam. Jangan biarkan mereka mengukir duka. Tangis mereka, tangis kita juga. Duka Asmat, duka Papua. Duka Papua haruslah juga duka Ibu Pertiwi.
Oleh: Merliana Trince Fakfak, 24 Januari 2018
P.s: Thank you so much for meine liebe Ophie Siphora Rahangiar yg telah dengan segenap hati membacakan puisi ini pada malam amal, SIMPOSIUM FOR ASMAT. You are my favorite poem reader ever! Ich liebe dich! Gbu.
留言