top of page

Buah Pikir di Hari Kartini 2021

Writer's picture: Merliana TrinceMerliana Trince

Hai teman-teman pembaca, apa kabar? Semoga semua dalam keadaan sehat selalu. Mulai dari sekitar tiga bulan terakhir di tahun lalu sampai memasuki bulan-bulan di tahun ini bukan merupakan rangkaian bulan yang cemerlang bagi saya. Sehingga tulisan ini pun menjadi tulisan pertama tahun ini, pada blog ini. Saya masih rutin menulis, hanya saja beberapa tulisan sengaja tidak saya posting di blog saya. Well, hidup memang tidak selalu sempurna, dan terkadang kau akhirnya terjatuh dan mengecap pahitnya kenyataan dalam hidupmu. Puji Tuhan, saya berada dalam posisi yang tidak sesempurna bayangan dan rencana saya. Tidak menyenangkan memang, namun terkadang kita dituntut untuk bijak menerima kesulitan sebagai pematang, dan dituntut untuk menghayati suatu ketidakjelasan dalam suatu waktu, kemudian menikmati suatu waktu dalam saat tertentu yang bukan merupakan kehendak kita. Dituntut oleh siapa? Dituntut oleh situasi, dituntut oleh hati Nurani.


Selamat Hari Kartini, teman-teman kaum perempuan se-Papua dan se-Tanah Air! Bulan April tahun lalu saya menulis tentang bagaimana kaum perempuan harus percaya bahwa dirinya “bisa”. Bisa menjadi apapun yang dia cita-citakan, dan segala bisa-bisa lainnya dalam hal yang positif. Hari ini saya membaca tulisan itu kembali dan mendapat sedikit tamparan untuk segera bertegar hati. Anyway, saya senang melihat perkembangan, dan mendengar cerita tentang kaum perempuan yang semakin mantap tampil dan melangkah dalam berbagai bidang di Indonesia, entah langkah kecil maupun besar. Misalnya, Kota Fakfak, Papua Barat, Kota kelahiran saya yang akhirnya memiliki seorang Pemimpin, Wakil Bupati pertama yang adalah seorang perempuan asli kota tersebut. Betapa saya turut bangga dengan pencapaian ini.

Seperti tahun lalu, saat ini pun saya mengetik tulisan ini disela-sela tumpukan tugas-tugas akhir semester musim semi 2021. Saat sarapan tadi pagi saya lalui sembari membaca kembali buku Dear Jane: Wise Counsel from Ms. Austen and Friends oleh Potter Gift dan Jane Austen. Buku ini berisi ringkasan kalimat-kalimat nasihat dengan tensi ringan dan lucu dibarengi pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban tak terduga dari Jane Austen tentang cinta dan patah hati, persahabatan, karir dan masih banyak lagi. Tapi bukan buku ini yang ingin saya bahas saat ini.


Saya sengaja memulai buah pikir di Hari Kartini tahun ini dengan semacam pengakuan singkat tentang keadaan yang tidak menyenangkan bukan hendak mencari pengasihan atau sejenisnya, namun ingin sekedar mengingatkan diri sendiri bahwa tindakan pengakuan sekecil itu pun adalah sebuah value. Buah pikir di Hari Kartini kali ini saya berada dalam beberapa perenungan tentang value atau harga atau nilai seorang perempuan. Mohon perhatian dan pengertian teman-teman, tulisan ini tidak saya tujukan kepada perempuan-perempuan tertentu atau siapapun itu, tapi tulisan ini sekaligus menjadi pengingat dan catatan bagi diri saya juga. Yang baik silahkan di ambil, yang buruk dilupakan saja.


Saya bersyukur sebab perlahan segelintir orang mulai belajar memahami bahwa perempuan memang harus juga bisa mengambil bagian dalam dunia Pendidikan, kerja, dan bidang-bidang profesi lainnya tanpa dikekang oleh paradigma-paradigma sosial dan stereotype sekitarnya. Namun entah mengapa, saya melihat dan kadang merasa, hal ini malah membuat kita sebagai seorang perempuan lupa terhadap value yang kita punya. Lupa untuk be true to ourselve, lupa untuk menjadi authentic. Mari bersyukur untuk udara emansipasi yang kita miliki saat ini dan menggunakan kesempatan ini dengan lebih baik dan tidak membuat diri kita menjadi wanita yang tidak peka terhadap hal sekitar kita. Yang saya bahas berikut ini adalah beberapa value atau nilai seorang perempuan yang secara pribadi saya rasa sedang bahkan telah disalahpahami atau agak keliru direspon.


Pertama, perempuan yang kuat. Menjadi perempuan yang kuat, bukan berarti kita harus tetap tersenyum dan menyembunyikan airmata kita, bahkan sampai tidak mengakui rasa sakit – mengabaikan derita kita. Menjadi perempuan yang kuat adalah ketika kita menyadari trauma yang kita alami, menyadari luka yang kita miliki, memahami apa yang terjadi pada diri kita dan menerima bahwa kita membutuhkan orang lain untuk memeluk kita. Kita mampu mengijinkan diri kita menangis, dan berbagi. Mungkin menjengkelkan mengetahui bahwa kita terus-terusan menangisi sesuatu, atau akhirnya kita membutuhkan orang lain untuk bercerita, tapi mau bagaimana lagi, manusia secara psikologi memang terprogram untuk memiliki rasa dan meneteskankan air mata. Dan saat kita memiliki luka yang tidak bisa kita sembuhkan sendiri, kita butuh menunjukan luka tersebut pada dokter agar luka tersebut bisa dirawat. Menunjukan luka pada dokter (read: pada orang yang tepat).

Kadang perempuan tidak mau lagi menangis karena merasa menangis adalah sesuatu yang memalukan dan khawatir direspon: “Ah, dasar perempuan! Terlalu sensitive sih…”, “Ah, gitu aja emosional. Dasar cewek!”. Mengapa perempuan khawatir terhadap respon demikian? Karena orang akan menerjemahkan hal itu sebagai kelemahan perempuan dan menganggap perempuan tidak pantas menangani suatu pekerjaan, tanggung jawab yang besar, peluang, dll. Lalu semua tak sadar bahwa hal-hal demikian menyebabkan gangguan Kesehatan Mental. Saya terus-terus mengingatkan diri saya tiap kali merasa ingin menangis tapi disaat bersamaan juga saya merasa menangis membuang-buang waktu: “tidak apa-apa menangis, karna demikian saya masih memiliki rasa, saya masih manusia, dan itu artinya saya dalam proses penyembuhan.”


Berikutnya, tentang menjadi perempuan yang bermartabat. Saya mengamati ada perempuan yang mempertahankan sesuatu dengan alasan martabat. Martabat adalah hak seseorang untuk dihargai dan dihormati dan diperlakukan secara etis, entah dalam segi moralitas, profesi, hukum, etika. Lalu ketika bersuara membela sesuatu yang dianggap benar, kurang lebih akan terdengar seperti ini: “Oh…, tidak bisa! Saya adalah perempuan yang bermartabat. Keluarga saya adalah keluarga terpandang. Saya adalah seorang yang… di kota/lingkungan ini. Profesi saya bukan profesi sembarang. Anda siapa?, Jangan main-main dengan saya!, Saya perempuan penting di tanah ini…, Saya adalah perempuan … (silahkan diisi dengan ras yang anda inginkan)”, dan masih banyak contoh kalimat sejenis lainnya.


Ya Tuhanku! Saya berdoa dan berjuang sebisa mungkin untuk tidak menjadi demikian. Karna…, untuk apa? I mean, come on! Afterall, kita semua adalah manusia. Dan itu yang terpenting. Saat terluka, akan merasakan sakit. Bukan berarti anda dari suku/ras tertentu, atau profesi dan kedudukan tertentu, atau kalangan tertentu, lalu itu membuat anda lebih manusiawi dibandingkan manusia lainnya disekitar anda.

Bukan berarti karna anda merasa lebih bermartabat sebagai seorang wanita dengan alasan-alasan tertentu lalu anda bisa seenaknya bersuara dan berjuang tanpa mempedulikan referensi sekitar anda. Sebaliknya, perempuan yang bermartabat menurut saya adalah perempuan yang memiliki pengendalian diri, dapat membuat keputusan yang baik dan benar dengan menilik detail penting disekitarnya, dan menghargai dirinya dan orang lain sebagai sesama manusia yang memiliki rasa. Perempuan bermartabat adalah ketika dia tidak takut menunjukkan kerentanannya. Dia asli. Authentic. Dia tidak mencoba untuk berpura-pura menjadi pahlawan. Dia tulus. Dia memiliki kemauan untuk melepas topeng untuk menunjukkan siapa dia sebenarnya. Dia melepaskan gengsinya dan mampu mengakui kesalahannya sendiri saat merasa bersalah dan bukan malah bersembunyi dibalik martabat. Ibu Kartini berkata, “Cita-cita itu ialah memperindah martabat manusia, memuliakannya, mendekatkan pada Kesempurnaan.” Bertanya-tanyalahlah, ambil waktu merenung sejenak jika apa yang kau suarakan atau bangga-banggakan, cita-citai dengan embel-embel martabat diri tidak mendekatkan dirimu (setidaknya) pada kebaikan.


Next, perempuan berpendidikan. Sementara masih ada pandangan-pandangan positif dan negatif tentang perempuan yang berpendidikan tinggi, saya baru menyadari satu hal lain yang mungkin saya-nya saja yang baru tau, bahwasannya akhirnya kadang saat seorang perempuan berhasil berpendidikan, dia dianggap bisa menghandle segala sesuatunya sendiri, bahkan segala yang berkaitan dengan perasaan sakitnya. Hal ini bukan saja dari sudut pandang perempuan itu sendiri terhadap dirinya, namun juga dari sudut pandang orang sekitar terhadap seorang perempuan berpendidikan. Pernah mendengar atau mengatakan kalimat seperti ini? “Kamu perempuan cerdas. Perempuan berpendidikan, berwawasan luas. Aku yakin kamu bisa melewati hal ini.” Atau “Aku perempuan yang bersekolah. Aku pintar. Urusan-urusan emosional seperti ini bukan apa-apa.” Lalu seiring dengan pendapat-pendapat demikian, seorang perempuan, atau seseorang lainnya terhadap seorang perempuan, tega atau rela melakukan apapun yang berpotensi menyakiti hati atau perasaan seorang perempuan. Pengabaian terhadap perasaan pun terjadilah.


Astaga! Apakah orang-orang telah lupa bahwa selain manusia berotak, manusia juga berhati? Mari sa kas tau sesuatu, penelitian dari HeartMath Institute Research Staff membuktikan bahwa hati berkomunikasi dengan otak dalam empat cara utama: secara neurologis (melalui transmisi impuls saraf), biokimia (melalui hormon dan neurotransmiter), secara biofisik (melalui gelombang tekanan) dan secara energik (melalui interaksi medan elektromagnetik). Komunikasi yang terjadi di sepanjang saluran ini secara signifikan memengaruhi aktivitas otak. Sehingga pesan yang dikirim hati ke otak juga dapat memengaruhi kinerja otak. Jadi kalau hati sakit, otak juga sakit. Mental seseorang menjadi terganggu. Bukan perempuan saja yang bisa rasa begini. Laki-laki juga. Manusia akan merasakan hal begini. Jadi berpendidikan atau ber-IQ tinggi tidak menjamin seseorang tahan banting terhadap sakit hati, entah disebabkan karena apapun itu.


Mungkin nanti ada yang berpendapat setelah membaca tulisan ini: “Aiiihh… Apa-apa perempuan. Kam saja.” “Kam saja yang harus dimengerti kah?” Jawabannya adalah: Tidak. Karena soal perasaan, semua manusia sama saja. Saat sakit ya sakit. Hanya kadang kita akhirnya harus berhadapan dengan orang-orang yang hati nuraninya tumpul. Sehingga tega melakukan apa saja tanpa mempertimbangkan hati dan perasaan orang lain. Entah laki-laki terhadap perempuan, perempuan terhadap laki-laki, laki-laki kepada laki-laki, maupun perempuan terhadap perempuan. Perempuan yang dibilang punya tingkat sensitifitas lebih bahkan juga bisa mengabaikan masalah hati perasaan dan mental miliknya maupun milik orang lain demi mencapai ambisi maupun kenyamanan dan egonya semata.

“Habis gelap terbitlah terang”. Puji syukur, saat ini kaum perempuan mulai menikmati adanya terang. Walau demikian, bukan berarti jalan kita akan selalu terang. Kadang kita masih harus menapaki jalan-jalan yang gelap pekat. Namun saya percaya masing-masing kita memiliki cahaya dalam diri kita yang masih dan harus dijaga. Sehingga didalam gelapnya setapak dunia jaman sekarang pun kita masih mampu menjaga lilin kita untuk terus menyala dan menuntun kita dan orang sekitar kita - “Bukan malah memadamkan lilin milik kita lalu berjalan didalam kegelapan hanya karna terbuai oleh kenyamanan fana” begitu pesan seorang Mansar yang baik hati kepada saya.


Demikian pikiran-pikiran sederhana dari saya, semoga bermanfaat. Jika ada yang dirasa kurang berkenan yah dibuang saja. Tidak usah direkam dalam ingatan. Tetap jaga kesehatan, tetap pakai masker kemana-mana dan jangan lupa vaksin. Sekali lagi, selamat merayakan emansipasimu, ladies! Selamat Hari Kartini! Dan selamat menunaikan ibadah puasa bagi saudara/i yang sedang menjalankannya. Terimalah lagu persembahan saya dan teman-teman saya di Auburn, Alabama berikut ini sebagai rasa kagum dan kesan manis kami terhadap kaum perempuan di Hari Kartini ini.



Auburn, AL, USA 21 April 2021

17 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


©2019 by  Merliana Trince  all rights reserved.   Proudly created with Wix.com

bottom of page