Melangkah lunglai, sang musafir mencoba mempertahankan pengembaraannya. Oh… Rupanya ia sedang berada dibait cinta. Bait yang selalu ada ditiap kisah hidup sejak insan mengenal dunia. Bait yang selama ini coba ia hindari melalui setapak lain. Bukan karna takut. Seorang musafir tak pernah takut berkelana. Hanya saja ia takut jatuh ke pelukan sang cinta dan tak lagi berkelana.
Namun jiwanya kering. Ia butuh rehat sejenak, dan bait cinta menawarkan air terjun berbenang raja nan cendayam. “Ah cinta! Jangan menggodaku! Aku masih ingin berkeliling dunia,” sang musafir membatin. “Jangan khawatir, aku tak pernah menahan yang tak ingin berkorban,” jawab sang cinta dengan bijak. Lalu dengan mata terpejam nikmat, diteguknya secangkir kasih yang berisi belaian, kecupan, bercampur rindu dan sejumput asa dari air terjun sang cinta.
Kala matanya terbuka, sadarlah sang musafir akan keberadaan rumahnya. “Tunggu, apa musafir memiliki rumah?”, ia membatin lagi. “Ya. Rumahmu selalu ada. Hanya kadang kau tak memandangnya”, jawab sang cinta tenang. Ini bukan pertama kalinya ia menolong musafir kelelahan.
Karna pada akhirnya, bahkan seorang musafir pun akan menemukan rumahnya. Rumah tempat dirinya melepas penat pengembaraannya, Rumah tempat dimana peluhnya diusap penuh kasih, Rumah tempat pengaduannya dituangkan, Rumah tempat dimana air matanya dibiarkan menetes tanpa gengsi, Dan rumah dimana hatinya berada diantara nikmatnya sayang.
Kelak jika sang musafir merindu masa pengelanaannya, sang cinta akan menjadi bintang penuntunnya yang setia agar ia tak akan tersesat, dan sang musafir hanya akan menapak sebulat hati.
Yogyakarta, 09 Juni 2019 Merliana Trince
留言